BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
telah dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, akan tetapi bangsa ini belum sepenuhnya
lepas dari belenggu penjajahan Belanda, dimana Belanda belum sepenuhnya
mengakui kemerdekaan Indonesia, sehingga dengan berbagai macam cara Belanda
ingin kembali menguasai Indonesia, dengan melancarkan Agresi Militer, yakni
Agresi Militer Belanda I dan
Agresi Militer Belanda II.
Agresi Militer Belanda I dapat diredam dengan
Perjanjian Renvile, namun bagai Api dalam sekam Agresi Militer Belanda II pun
pecah sehingga mengakibatkan Ibukota Negara berpindah dari Jakarta ke
Yogyakarta, hal ini karena situasi keamanan Ibukota Jakarta yang makin memburuk, maka pada tanggal 4
Januari 1946, Soekarno dan Hatta dengan menggunakan kereta api, pindah ke Yogyakarta sekaligus pula memindahkan Ibukota. Meninggalkan Sutan
Syahrir
dan kelompok yang pro-negosiasi dengan Belanda di Jakarta.
Pemindahan ke Yogyakarta dilakukan dengan menggunakan kereta
api, yang
disebut dengan singkatan KLB (Kereta Luar Biasa). Orang lantas berasumsi bahwa
rangkaian kereta api yang digunakan adalah rangkaian yang terdiri dari
gerbong-gerbong luar biasa. Padahal yang luar biasa adalah jadwal
perjalanannya, yang diselenggarakan di luar jadwal yang ada, karena kereta
dengan perjalanan luar biasa ini, mengangkut Presiden beserta Wakil Presiden,
dengan keluarga dan staf, gerbong-gerbongnya dipilihkan yang istimewa, yang
disediakan oleh Djawatan Kereta Api (DKA) untuk VVIP.
Karena Belanda mengetahui bahwa pemerintahan
Republik Indonesia telah berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta kemudian Belanda
Mengerahkan pasukannya untuk menggempur Ibukota Negara yakni Yogyakarta, namun
ternyata dengan terus belajar dari pengalaman dan kesungguhan tekat di
Yogyakarta sendiri sudah disiapkan sebuah serangan untuk menahan, dan memukul
mundur pasukan Belanda, yang dikenal dengan “Serangan Umum 1 Maret 1949”.
Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah serangan yang dilaksanakan pada
tanggal 1 Maret 1949 terhadap Kota Yogyakarta secara
besar-besaran yang direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi Militer
di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikut sertakan beberapa pucuk pimpinan
pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima
Besar Soedirman untuk membuktikan kepada Dunia Internasional bahwa TNI (berarti
juga Republik Indonesia) masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian
dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di
Dewan Keamanan PBB dengan tujuan utama untuk dapat dengan mudah mematahkan
tekat dari tujuan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada
Dunia Internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk
mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai Komandan Brigade X/Wehrkreis
III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.
Namun dibalik keberhasilan
Serangan Umum 1 Maret
1949 tersebut, ada salah
seorang tokoh yang mempunyai peran
penting dalam jalanya Serangan tersebut, yakni Sri Sultan Hamengku Buwono IX,
yakni seorang negarawan sejati sekaligus Priyayi atau Raja Jawa yang
menghabiskan hidupnya untuk Negara seperti yang dikutip dalam sebuah artikel.
. . . kemudian Presiden dan Wapres di Gedung
Agung ditangkap dan
diasingkan sehingga mutlaklah kala itu kedudukan "pemerintah" kita
diserahkan pada Sjafruddin Prawiranegara di lain pihak kedudukan kiranya tinggal Menteri Koordinator Keamanan yang dijabat
oleh Sri Sultan HB IX, merupakan pimpinan RI yang tetap di Yogyakarta, dimana Keraton berada maka praktis perjuangan kita
hanya menggunakan jalan Diplomasi Politik kepada Dunia Internasional/PBB, dimana hal ini semenjak perpindahan
pemerintah RI di Yogya tersebut Sri
Sultan HB IX dengan
telah terbentuknya Laskar Mataram tanggal 7 Oktober 1945 kiranya menjadi tumpuan
utama perjuangan gerilya yang dikomandoi oleh satuan Wehrkreis.
Demikianlah sebagai seorang Negarawan
yang matang dalam Kalkulasi dan Strategi perjuangan yang didukung dengan
Kewenangan sebagai Menteri Koordinator Keamanan maka mulailah beliau menyusun rancangan dengan menggunakan beberapa faktor
pendukung yang masih ada serta kelemahan dan Point of Return selain itu ternyata pengaruh Sri Sultan Hamengku
Buwono IX sebagai Raja Jawa
juga mempengaruhi jalannya serangan yakni dengan ikutnya pasukan Keraton di dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 tersebut,
“Laskar Mataram yang terbentuk tanggal
7 Oktober 1945, menjadi tumpuan utama perjuangan gerilya yang dikomandoi oleh
satuan Wehrkreis. Agak mengherankan, karena banyak penulisan buku sejarah
perjuangan, tidak pernah disinggung peranan Laskar Mataram tersebut. Memang
ketika Belanda melancarkan Agresi Militernya tanggal
19 Desember 1948, Re-Ra (Reorgani-Rasionalisasi) di tubuh TNI belum tuntas, sehingga masih banyak
laskar dan satuan bersenjata, yang belum dilebur atau diintegrasikan ke Tentara
Republik Indonesia (TNI)”.
(Artikel:http://id.wikipedia.org/wiki/Serangan_Umum_1_Maret_1949)
Selain
itu juga peranan Sri Sultan Hamengku Buwono IX di bidang politik tidak bisa
pandang sebelah mata saja karena pada dasarnya kebesaran hati Sri Sultan
Hamengku Buwono IX membuktikan bahwa beliau bukan hanya seorang bangsawan,
melainkan juga negarawan yang berpikir maju. Kerelaannya untuk memberikan
sebagian wilayahnya sebagai pusat pemerintahan Republik Indonesia, sebuah
kekuasaaan yang lebih tinggi dari kekuasaan kesultanan, merupakan wujud janji
Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk ikut mempertahankan kemerdekaan.
Wawasan kebangsaan Sri
Sultan Hamengku Buwono IX juga
terlihat dari sikap tegasnya yang mendukung Republik Indonesia dengan sangat
konsekuen. Segera setelah Proklamasi Republik Indonesia beliau mengirimkan amanat kepada Presiden
Republik Indonesia yang menyatakan keinginan kerajaan Yogyakarta untuk mendukung
pemerintahan Republik Indonesia. Ketika Jakarta sebagai Ibukota Republik Indonesia mengalami
situasi gawat, Sri Sultan Hamengku Buwono IX tidak keberatan Ibukota Republik Indonesia dipindahkan
ke Yogyakarta.
Begitu juga ketika Ibukota Republik Indonesia diduduki
musuh, Sri Sultan Hamengku Buwono IX bukan saja tidak mau menerima bujukan Belanda untuk berpihak pada
mereka, namun juga mengambil inisiatif yang sebenarnya dapat membahayakan dirinya, termasuk
mengijinkan para gerilyawan bersembunyi di kompleks keraton pada Serangan
Umum 1 Maret 1949. Hal ini
didasari karena beliau adalah seorang raja yang Republiken. Setelah bergabung dengan RI, Sri Sultan
Hamengku Buwono IX terjun
dalam Dunia Politik Nasional. Dan perannya politiknya
tersebut juga menjadi sebuah pendobrak
nilai-nilai ketertutupan Keraton yang pada saat perpindahan Ibukota
pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta. Seperti yang dikutip oleh John
Monfris (2012:300) menerangkan bahwa:
The Indonesian revolusion was hamengkubuono’s finer
hour, so much so that the rest of his career, despite its distinction, looks
almost like an anticlimakx. His scentral convictiom, that the time of
colonialism was over, seemed to guide all his actions during 1949, and he was
prepared to take great personal and political risks to justify it. He was
playing for high stakes, because the dutch had axiled some of his ancestors and
seriously considerd doing the same to him. His judgement that, when it came to
the point, they would not dare to do so, proved correct, but it may have been a
narrow escape…
Keputusan Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyediakan Yogyakarta untuk menampung pemerintah
Republik Indonesia merupakan kebijakan
luar bisa sekaligus menjadi sebuah legenda. Ketika republik sedang terusir dari Jakarta, disitu Sultan hadir. Sedangkan tekatnya menutup pintu Keraton telah berhasil menggagalkan tujuan utama
Agresi Militer Belanda II, menghapus republik dari PETA. Oleh
karena itu, menjadi sangat bermakna sekaligus mengandung arti banyak hal, bahwa Sultan Yogya mewakili Pemerintah republik menerima pengakuan kedaulatan atas seluruh bekas wilayah Hindia Belanda, wakil agung mahkota,
tanggal 27 desember 1949 di Jakarta.
Sosok
Sri Sultan Hamengku Buwono IX di bidang militer tidak bisa dilepaskan sebagai
dari pada ide gagasannya tentang Pengambil Keputusan Serangan Umum 1 Maret
1949. Yang pada awalnya beliau telah menyaksikan semangat rakyat telah menurun
dan banyak Pegawai Negeri Sipil yang ingin bekerja sama dengan pihak Belanda
dan di tambah lagi Sri Sultan Hamengku
Buwono IX mendengar di radio luar negeri yang pada akhir Februari 1949 masalah
antara Indonesia Belanda akan dibicarakan di forum PBB.
Dan
kemudianlah terlintas sebuah inisiatif untuk mengadakan Serangan Umum sehingga
dapat memberi tanda bahwa sebenarnya Pemerintah Indonesia Belum menyerah di
dalam mempertahankan Kemerdekaannya. Karena Sri Sultan Hamengku Buwono IX tak
punya pasukan yang cukup untuk melakukan serangan ini, kemudian Sri Sultan
Hamengku Buwono IX mengirimkan surat kepada Jenderal Soedirman melalui kurirnya
untuk meminta persetujuan bahwa akan diadakannya Serangan Umum.
Setelah
mendapat persetujuan dari Jenderal Soedirman dan menyarankan kepada Sri Sultan
Hamengku Buwono IX untuk menghubungi Letkol Soeharto Di Yogyakarta Selatan.
Setelah Sri Sultan Hamengku Buwono IX memberikan surat kepada Letkol Soeharto
melalui Lettu Marsoedi, Staf Letkol Soeharto. Pada tanggal 14 Februari 1949,
dengan sebuah kawalan Tentara yang di pimpin Lettu Marsoedi, Letkol Soeharto
Masuk kedalam Prabuningratan dengan menyamar sebagai Abdi Dalem Kraton.
Dalam pertemuan empat mata inilah ide gagasan
Serangan Umum 1 Maret 1949 diputuskan. Dan secara teknis Serangan Umum 1 Maret
1949 ini di pimpin langsung oleh Jenderal Soedirman yang notabenenya sebagai
Panglima Besar TNI dan Soeharto pada waktu itu sebagai
Komandan Brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana
lapangan di wilayah Yogyakarta tetapi tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan Sri Sultan Hamengku
Buwono IX yang pada dasarnya beliau adalah seorang Raja Yogyakarta. Selain
serangan ini melibatkan jajaran tertinggi
Militer di wilayah Divisi III/GM III, namun banyak melibatkan pula dari prajurit Laskar Mataram baik dari
prajurit-prajurit Keraton, Tentara Pelajar dan rakyat pejuang lainnya yang
dikerahkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX .
Dan
dari Serangan Umum 1 Maret 1949 inilah telah membuktikan eksistensi baik TNI
ataupun seluruh rakyat Indonesia di dalam usaha mempertahankan Kemerdekaan
Indonesia belum habis riwayatnya. Menurut Julius Pour (1999:72) menerangkan
bahwa:
Pengambil inisiatif Serangan Umum 1 Maret 1949 itu adalah Sri Sultan Hamengkubono IX
sebagai kapasitasnya sebagai Menteri Negara yang pada waktu itu tinggal di dalam kota dan
sebagai pemimpin informal (raja) dari rakyat Mataram yang dipercaya
dan ditaati oleh seluruh rakyat Yogyakarta. Pada akhir Januari 1949, Sultan
melihat semangat rakyat lemah sekali terdengar beberapa Pegawai Negeri mau bekerja sama dengan Belanda. Sementara
itu, Sultan mendengar berita radio bahwa
Dewan Keamanan PBB akan mengadakan sidang dan juga akan
membicarakan Indonesia.
Berangkat dari hal tersebut diatas maka permasalahan ini menarik untuk diteliti dan dikembangkan lebih lanjut dalam
suatu penelitian, karena dapat digunakan sebagai tambahan wawasan dalam pembelajaran Sejarah Nasional Indonesia II dan Sejarah Perjuangan Bangsa, serta
memberikan nilai-nilai edukatif bagi pembaca pada umumnya.
B. Rumusan Masalah
Masalah adalah kesenjangan
antara harapan dan kenyataan yang di inginkan. Berdasarkan latar belakang yang
telah di uraikan di atas, maka yang menjadi fokus masalah adalah di dalam
menghadapi Serangan Umum 1 Maret 1949 terdapat tokoh yang handal yakni Sri
Sultan Hamengku Buwono IX.
Berdasarkan masalah tersebut, maka dapat di rumuskan sebagai berikut :
Dari
masalah tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.
Bagaimana Peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX
di Bidang Politik Dalam Serangan Umum 1 Maret 1949.
2.
Bagaimana Peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX
di Bidang Militer Dalam
Serangan Umum 1 Maret 1949.
Dari
rumusan masalah di atas maka dapat diangkat judul dalam penelitian ini adalah : PERAN SRI
SULTAN HAMENGKU BUWONO IX DI BIDANG POLITIK DAN MILITER DALAM SERANGAN UMUM 1 MARET
1949.
C.
Tujuan Kajian
Tujuan kajian merupakan
sasaran pokok yang akan dicapai oleh seorang peneliti, dengan menetapkan tujuan
maka akan memberikan arah dan pedoman bagi seorang peneliti tersebut terhadap
kegiatan yang akan dilakukan. Berdasarkan rumusan masalah yang terlah dikemukakan di atas maka yang
menjadi tujuan dari kajian ini adalah sebagai berikut ;
1. Untuk menganalisis
Peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX di Bidang Politik Dalam Serangan
Umum 1 Maret 1949.
2. Untuk menganalisis
Peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX di Bidang Militer Dalam Serangan
Umum 1 Maret 1949
D.
Kegunaan Kajian
Adapun kegunaan yang diharapkan dari
penelitian ini adalah :
1. Dengan menganalisis
peran Sri Sultan
Hamengku Buwono IX kita dapat mengetahui peranan Sri Sultan Hamengku Buwono IX di Bidang Politik Dalam Serangan Umum 1
Maret 1949.
2. Dengan menganalisis
Peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX kita dapat
mengetahui peranan Sri Sultan Hamengku Buwono IX di
Bidang Militer Dalam Serangan Umum
1 Maret 1949.
3. Kajian ini diharapkan dapat digunakan
sebagai tambahan wawasan Sejarah Pengetahuan Ilmu Sosial pada umumnya dan Ilmu
Sejarah pada khususnya tentang peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX di bidang Politik dan Militer
terhadap upaya melawan kolonialisme Belanda di Pulau Jawa pada tahun 1949. Sehingganya dapat menjadi salah satu dari
sumber yang dapat dijadikan referensi perjuangan bangsa sebelum kemerdekaan.
E. Metode Kajian
Dalam memecahkan suatu masalah diperlukan beberapa cara atau metode.
Metode dalam arti yang sebenarnya berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu “Methodos”, yang artinya cara atau jalan.
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode historis dengan
mengadakan studi kepustakaan.
Menurut Nugroho Notosusanto (1978:19) menyatakan bahwa “metode sejarah adalah
sarana sejarawan untuk melaksanakan penelitian dan penulisan sejarah.” Sedangkan Louis Gottachalk, “metode historis adalah proses menguji dan
menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lalu” dan menurut Moh. Ali (1982:21) bahwa “metode historis dilakukan dengan meninjau suatu
perspektif sejarah, berdasarkan kepada peninggalan atau dokumen sejarah yang
ada.”
1. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data
yang objektif dan benar maka
peneliti menggunakan cara di dalam penelitian ini
dengan mengadakan studi kepustakaan. Kemudian dengan cara ini, peneliti dapat
menemukan sumber data yang diperlukan guna mendapatkan data yang akurat dan
objektif. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :
a.
Heuristik
Heuristik merupakan
kegiatan penelitian untuk mencari atau menemukan sumber data yang diperlukan.
Dalam penelitian yang dilakukan ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Nugroho
Notosusanto (1978:11) menyatakan bahwa “Heuristik adalah proses mencari untuk
menemukan sumber-sumber dari masa lampau”.
Dari konsep diatas
dapat diambil suatu pengertian bahwa heuristik adalah langkah awal untuk
menemukan sumber-sumber penelitian.
Langkah dalam
menemukan sumber data tersebut adalah :
1)
Mencari buku yang relevan dengan masalah yang dibahas
dalam penelitian ini.
2) Membahas secara
cermat dalam penelitian atau buku dan merumuskan konsep-konsep yang sesuai
dengan jenis masalahnya.
3) Membaca buku artikel
atau dokumen lain yang berkaitan dengan penelitian yang dibahas.
b.
Studi Kepustakaan
Mengenai studi kepustakaan Koentjaraningrat (1983:83)
menyatakan sebagai berikut :
Teknik kepustakaan
merupakan cara pengumpulan data dan informasi dengan bantuan macam-macam materi
yang terdapat di dalam ruang perpustakaan, misal koran, majalah-majalah,
dokumen dan sebagainya yang relevan dengan penelitian.
Dengan teknik kepustakaan, peneliti berusaha
mempelajari dan menelaah buku-buku untuk memperoleh data dan informasi berupa
teori-teori atau argumen yang dikemukakan oleh para ahli yang berkaitan dengan
masalah-masalah yang diteliti.
Langkah-langkah melakukan studi kepustakaan adalah
sebagai berikut :
1) Membaca buku-buku
yang relevan dengan sumber data.
2) Mengklasifikasikan
fakta-fakta sejarah dengan konsep sesuai dengan teknik penelitian.
3) Mengembangkan ide dan
gagasan sendiri berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh.
2.
Keabsahan Pengumpulan
Data
Suatu penelitian agar
dapat mencapai hasil yang optimal maka harus didukung oleh data yang tepat.
Oleh karena itu untuk menguji kebenaran suatu data maka akan dilakukan dengan
mengkritik sumber data. Di dalam penelitian ini kritik yang digunakan adalah
kritik Ekstern dan kritik Intern. Kedua kritik tersebut adalah sebagai berikut
:
a.
Kritik Ekstern
Kritik ekstern adalah
kritik yang menyangkut sumber penelitian. Apakah sumber itu asli atau tidak seperti
yang diungkapkan oleh Nogroho Notosusanto (1984:38) sebagai berikut:
Aspek ekstern bersangkutan dengan persoalan apakah
sumber itu merupakan sumber, artinya apakah sumber data sejati yang kita
perlukan. Kritik ekstern bertugas untuk menjawab tiga persoalan pokok yaitu :
(1)
Apakah sumber itu
memang kita kehendaki ?
(2)
Apakah sumber itu
asli atau tidak ?
(3)
Apakah sumber itu
utuh atau telah diubah ?
Berdasarkan pendapat
diatas, maka dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan kritik ekstern adalah
suatu kegiatan penelitian yang bertujuan untuk memastikan kebenaran sumber data
yang digunakan.
Adapun
langkah-langkah kritik ekstern adalah sebagai berikut:
1) Mengecek kecocokan
antara judul penelitian dengan judul sumber data.
2) Mengecek kesamaan
secara kronologi antara judul penelitian dengan peristiwa yang ditulis dalam
sumber data.
Untuk mengetahui validitas sumber
data dikemukakan dalam tabel kritik ekstern sebagai berikut :
b. Kritik Intern
Keabsahan sumber data
ditingkat validitasnya tidak hanya menggunakan kritik ekstern, akan tetapi
harus dilanjutkan dengan kritik intern sebagai langkah mengetahui kebenaran isi
sumber data yang digunakan.
Winarno Surachmad
(1990:135) mengemukakan : “Kritik intern adalah suatu penelitian yang dilakukan
dengan cara menentukan kebenaran isi sumber data”. Berdasarkan pernyataan tersebut maka dapat diambil pengertian bahwa yang
dimaksud dengan kritik intern adalah mengevaluasi kebenaran fakta daan konsep sejarah yang ditulis
dalam sumber. Dalam kegiatan penelitian ini langkah-langkah kritik intern
dilakukan sebagai berikut :
1) Mengecek kecocokan
antara konsep dan fakta dalam sumber data dengan peristiwa yang diteliti.
2) Menyesuaikan dengan
kronologi peristiwa yang ditulis dalam buku sumber dengan yang ditetapkan dalam
penelitian.
3) Memahami tujuan
penulisan sumber data.
3.
Teknik Analisa Data
Setelah data
terkumpul selanjutnya data-data tersebut dianalisis kebenarannya untuk menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan. Adapun metode analisis data adalah sebagai
berikut :
a. Interpretasi
Interpretasi
merupakan usaha menentukan atau menetapkan makna dan fakta-fakta yang
diperoleh. Hal ini dikemukakan oleh Nugroho Notosusanto (1984:38) bahwa “
Interpretasi merupakan langkah penetapan makna yang saling berhubungan dengan
fakta-fakta yang diperoleh”
Dari pendapat diatas
maka dapat diambil pengertian bahwa yang dimaksud dengan interpretasi adalah
tahap penafsiran yang didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh.
Langkah-langkah dari
interpretasi data dapat diungkapkan sebagai berikut:
1)
Memberi penafsiran kepada
sumber yang diperoleh
2)
Memberi gambaran terhadap
fakta-fakta yang diperoleh dari sumber sejarah
3)
Menafsirkan temuan ke dalam kalimat bermakna.
b. Historiografi
Historiografi adalah
kegiatan akhir dari penelitian dalam penulisan sejarah. Menurut Nugroho
Notosusanto (1984:36) adalah “Historiografi merupakan merekonstruksi yang
imajinatif dari peristiwa masa lampau berdasarkan data yang diperoleh.
Dari uraian diatas
dapat dimabil pengertian bahwa historiografi adalah penulisan data-data atau
fakta-fakta menjadi sebuah kisah sejarah berdasarkan data-data yang telah
diperoleh dari masa lampau. Terkait dengan hal diatas Nugroho Notosusanto (1984:98) menyatakan :
Metode Historiografi adalah
metode yang merupakan sekumpulan prinsip atau aturan yang sistematis yang
dimaksud untuk memberikan bantuan secara efektif
dalam usaha
mengumpulkan bahan-bahan bagi sejarah secara kritis dan kemudian menyajikan
sesuai sintes dari pada hasil, biasanya dalam bentuk tertulis.
Berdasarkan pendapat
diatas dapat dijelaskan bahwa metode sejarah merupakan suatu metode yang
digunakan untuk membantu dalam usaha pengumpulan bahan-bahan yang ada kaitannya dengan apa yang diteliti, sehingga peneliti
dapat memberi suatu sintesa dalam
bentuk tulisan. Langkah-langkah historiografi meliputi :
1)
Mencari sumber data dari berbagai literatur yang
relevan dan berhubungan dengan topik penelitian.
2)
Mengadakan kritik terhadap data.
3)
Memberikan penafsiran atau interpretasi
4)
Melakukan penulisan sejarah.
F.
Batasan Konsep dan Istilah
1.
Batasan Konsep
Batasan
konsep dalam penelitian ini diperlukan untuk memperoleh gambaran secara tepat dalam
penelitian. Hal ini sesuai dengan penjelasan Dudung Abdurrahman
(dalam Basri MS, 2006 : 22) yaitu
“Konsep dapat diartikan sebagai suatu abstraksi mengenai suatu gejala atau
realitas”. Dalam penelitian ini batasan konsep dapat dibagi ke dalam beberapa bagian, yaitu sebagai berikut :.
a. Konsep Peran Sri Sultan
Hamengku Buwono IX Di Bidang Politik
Sri
Sultan Hamengku Buwono IX mempunyai peran besar tentunya di dalam
mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kebesaran hati Sultan membuktikan bahwa
ia bukanlah seorang bangsawan saja, melainkan juga negarawan yang berpikir
maju. Kerelaan untuk memberikan sebagian wilayahnya sebagai pusat pemerintahan
Republik Indonesia adalah kekuasaan tertinggi dari kekuasaan kesultanan,
merupakan wujud janji Sultan untuk ikut mempertahankan kemerdekaan. Sebagai halnya di kutip dari Mohamad Roem
(2011:73) menerangkan bahwa:
Salah satu peranan Sri Sultan Hamengku Buwono IX ialah
dalam Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Beliau merupakan penggagas dari ide
pemikiran jalannya peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Sri Sultan Hamengku
Buwono IX dalam kapasitasnya sebagai Menteri Negara yang pada waktu itu tetap
tinggal di dalam kota dan sebagai pemimpin informal (Raja) dari rakyat Mataram
yang di percaya dan ditaati oleh seluruh rakyat Yogyakarta. Dan secara teknis
Serangan Umum 1 Maret di serahkan kepada Letkol Soeharto namun tanggung jawab
sepenuhnya berada di tangan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Dari kutipan di atas
dapat diambil pengertian bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono IX merupakan
merupakan penggagas dari pada Serangan Umum 1 Maret 1949. Dan merupakan seorang
Raja dari rakyat Mataram dan kapasitasnya menjabat sebagai Menteri Negara yang
mementingkan kepentingan negaranya. Menurut Hariadi Saptono (2002:73) menerangkan bahwa :
Dari dalam keraton mulailah Hamengku Buwono IX
sekarang menjalankan siasatnya. Pertama-tama ia sengaja menyebarkan berita
bahwa dia ”meletakan jabatan” sebagai Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta
kemudian diikuti oleh Sri Paku Alam. Cara untuk menyebarluaskan berita itu
adalah dengan penyampaian dari mulut ke mulut, atau waktu itu lazim disebut
sebagai Fluistercampagne, sehingga
seluruh rakyat sampai kepelosok Kabupaten mendengarnya. Tujuan penyebaran
berita ini, dalam keadaan Hamengku Buwono IX dibatasi ruang geraknya adalah
agar soal keamanan daerah Yogya menjadi tanggung jawab tentara pendudukan. Lagi
pula dengan demikian, Hamengku Buwono IX atau Paku Alam tak akan dapat
diperalat atau disuruh melakukan tindakan-tindakan yang membantu musuh.
Dari
kutipan di atas dapat diambil pengertian bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono IX
tidak mau bekerja sama dengan pihak Belanda dan menghalangi siasat pihak
Belanda untuk merebut kekuasaan di Yogyakarta. Menurut Mohamad Roem (2011:73)
menerangkan bahwa: Belanda sungguh
bingung dengan politik nonkooperatif Sultan. Mereka ingin pegawai-pegawai sipil
mendukungnya ketika kekuasaan militer kita goyah. namun Sultan malah membujuk
pegawai sipil untuk tidak berpihak kepada mereka.
Sri Sultan Hamengku
Buwono IX merupakan contoh bangsawan yang demokratis. Pemerintahan Kesultanan
Yogyakarta mengalami banyak perubahan di bawah pimpinannya. Bila dalam masa
kejayaan Mataram pernah berhasil mengembangkan konsep Politik Keagungbinataraan
yaitu bahwa kekuasaan raja adalah agung
binathara bahu dhenda nyakrawati, berbudi bawa leksana ambeg adil para marta
yakni besar laksana kekuasaan dewa, pemeliharaan hukum dan penguasa dunia,
meluap budi luhur mulianya, dan bersikap adil terhadap sesama, maka Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dengan wawasan barunya menunjukkan bahwa raja bukan lagi gung binathara, melainkan demokratis.
Raja berprinsip kedaulatan rakyat tetapi tetap berbudi bawa leksana.
b. Konsep Peran Sri Sultan
Hamengku Buwono IX Di Bidang Militer
Sri Sultan Hamengku Buwono IX Kontribusinya
terhadap RI jelas tak dinafikan lagi. Peranannya di dalam Serangan Umum 1 Maret
1949 jelas terlihat sekali di dalam ide gagasanya. Sebagai halnya di kutip dari
Hariadi Saptono (2012:80) menerangkan
bahwa :
Pihak Belanda yang seharusnya meninggalkan
wilayah RI malah membandel bercokol, dan mengklaim tindakan militernya sebagai
aksi “Polisionil: (penertiban) atas kekacauan yang ditimbulkan oleh para
extremis (pejuang Indonesia). Belanda menciptakan kesan tidak ada pemerintahan
Indonesia. Karena itu Sultan merencanakan gerakan militernya untuk menunjukan
bahwa TNI masih ada, dan bisa diketahui oleh negara-negara anggota Komisi Tiga
negara (KTN) yang sudah ada di Yogyakarta. Dari sana, Sultan mengirimkan surat meminta pertimbangan
Panglima Besar Jenderal Soedirman agar diadakan suatu serangan umum dan
Panglima Soedirman menyetujuinya.
Dari kutipan di atas dapat diambil pengertian bahwa
Sri Sultan Hamengku Buwono IX telah melakukan gerakan militer. Beliau bekerja sama dengan Panglima Besar Jendral
Soedirman yang notabennya sebagai Panglima Besar TNI dan Sri Sultan Hamengku
Buwono IX sebagai Raja Yogyakarta. Untuk
melakukan serangan dengan tujuan untuk menujukkan bahwa pemerintahan Indonesia
beserta TNI masih ada dengan melakukan Serangan Umum 1 Maret 1949. Dan Sebagai halnya dikutip dari Sindhunatta
(1982:147) menerangkan bahwa :
Setelah serangan umum, berkali-kali Belanda
mendatangi Sultan di Keraton. Termasuk Jenderal Meyer, Panglima Tentara Belanda
di Indonesia ikut datang untuk memeriksa Keraton dan meminta Sultan
menghentikan bantuannya pada pasukan Pejuang gerilya dan TNI Karena pejuang
gerilya dan TNI dalam peperangan banyak bersembunyi di dalam benteng Keraton.
Namun mereka gagal menakut-nakuti Sultan. Keahlian diplomasi pria Jawa lulusan
Universitas Leiden ini mengalahkan para Jenderal Belanda.
Dari kutipan di atas dapat diambil pengertian bahwa
Sri Sultan Hamengku Buwono IX terlihat telah memberikan suatu dukungan baik
dari segi material ataupun moral di dalam jalannya serangan umum tersebut dan
memberikan jaminan keamanan bagi para pejuang yang selalu memberikan
persembunyian di dalam benteng tembok Keraton . Sebagai halnya di kutip dari Mohamad Roem
(2011:80) menerangkan bahwa:
Pada hari itu, bebarengan dengan bunyi sirine tanda
habisnya jam malam yang telah ditetapkan oleh Belanda ketika itu, secara
serentak dari segala penjuru kota Yogya terdengar rentetan tembakan senjata
dipimpin langsung Oleh seorang Letnan Kolonel. Kemudian, pada saat yang telah
ditetapkan, secara serentak para gerilyawan yang terdiri atas tentara TNI,
tentara pelajar, dan rakyat pejuang memasuki dan menduduki kota. Setelah enam
jam berada di kota dan kelompok gerilyawan telah menduduki tempat masing-masing
maka secara teknis serangan ini disebut dengan “Enam Jam di Yogya”.
Dari kutipan di atas dapat diambil pengertian
bahwa konsep peran Sri Sultan Hamengku
Buwono IX dalam
bidang militer yang tidak bisa dilepaskan pula oleh kerjasama Panglima Besar
Jenderal Soedirman beserta jajaran TNI yang di bawahinya dan pejuang lainnya
tentunya cukup memberikan kontribusi bagi Republik Indonesia pada saat itu yang
cukup membuktikan kepada dunia internasional bahwa Republik Indonesia dan TNI
masih ada di dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.
c. Konsep Serangan Umum 1 Maret 1949
Serangan
Umum 1 Maret adalah serangan yang
dilaksanakan pada tanggal 1
Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta atas ide gagasan
dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang direncanakan dan dipersiapkan secara besar-besaran
oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan berdasarkan
instruksi dari Panglima Besar Soedirman, untuk membuktikan kepada dunia
internasional bahwa TNI masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian
dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di
Dewan Keamanan PBB dengan tujuan utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk
mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai Komandan Brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di
wilayah Yogyakarta. Sebagai halnya telah dikutip dari situs bahwa:
Serangan Umum 1 Maret 1949 ialah serangan yg
dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta secara
besar-besaran yg direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer
di wilayah Divisi III/GM III dengan berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Soedirman, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi
Indonesia dalam
perundingan yg sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan maksud utama
untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia
internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Serangan_Umum_1_Maret_1949)
Dari
kutipan di atas dapat diambil pengertian bahwa Tujuan Belanda
menyelenggarakan serangan ialah Belanda ingin menunjukkan kepada Dunia bahwa
Pemerintah Republik Indonesia dan TNI secara de facto tidak ada lagi. Serangan Umum 1 Maret adalah serangan yang dilaksanakan pada
tanggal 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta atas ide gagasan
dari Sri Sultan Hameku Buwono IX berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Soedirman. Sebagai halnya telah dikutip dari Batara R.
Hutagalung (2010:453) sebagai berikut ;
TNI berhasil membuktikan bahwa
Serangan Umum 1 maret ini dapat memberikan dampak yang positif bagi Republik
Indonesia, dengan sebutan serangan siluman bagi mereka yang dilaksanakan di
pagi hari ketika bebarengan dengan bunyi sirine tanda habisnya jam
malam yang telah ditetapkan oleh Belanda ketika itu. Maka secara teknis
serangan ini disebut dengan “Enam Jam di Yogya”.
Dari
kutipan di atas dapat diambil pengertian bahwa Tentara Republik Indonesia (TNI) beserta para
pejuang RI dapat memberikan dampak yang positif atas kontribusinya di dalam
Serangan Umum 1 Maret 1949 tersebut, dan dapat membuktikan kepada dunia
internasional dengan serangan siluman ini dapat menguasai kota Yogyakarta dalam
waktu enam jam dimulai ketika bebarengan bunyi sirine tanda habisanya jam
malam, Maka secara teknis
serangan ini disebut dengan “Enam Jam di Yogya”.
2.
Batasan Istilah
Dari batasan konsep dan landasan teori di
atas, maka akan dijelaskan beberapa istilah yang berkaitan dengan pelaksanaan
penelitian ini yaitu :
a.
Peranan merupakan
tindakan yang di lakukan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu peristiwa
yang telah terjadi. Dalam hal ini bila orang tersebut telah menjalankan hak dan
kewajibannya maka ia telah menjalankan suatu peran.
b.
Politik adalah usaha dalam mewujudkan tujuan bersama
suatu masyarakat/bangsa/negara yang memiliki kesamaan cita-cita.
c.
Militer dapat diartikan sebagai angkatan bersenjata dari suatu negara, atau
segala sesuatu yang berhubungan angkatan bersenjata.
mantab,,,,,
BalasHapushahahaha
BalasHapusedian
mantab,,,,
BalasHapusdi tunggu info yg lainnya,,, :D (y)