Historia

Historia

Jumat, 20 September 2013

PERAN SULTAN HAMENGKU BUWONO IX DI BIDANG POLITIK DAN MILITER DALAM SU 1 MARET 1949


 
 


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
           
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia telah dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, akan tetapi bangsa ini belum sepenuhnya lepas dari belenggu penjajahan Belanda, dimana Belanda belum sepenuhnya mengakui kemerdekaan Indonesia, sehingga dengan berbagai macam cara Belanda ingin kembali menguasai Indonesia, dengan melancarkan Agresi Militer, yakni Agresi Militer Belanda I dan Agresi Militer Belanda II.
Agresi Militer Belanda I dapat diredam dengan Perjanjian Renvile, namun bagai Api dalam sekam Agresi Militer Belanda II pun pecah sehingga mengakibatkan Ibukota Negara berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta, hal ini karena situasi keamanan Ibukota Jakarta yang makin memburuk, maka pada tanggal 4 Januari 1946, Soekarno dan Hatta dengan menggunakan kereta api, pindah ke Yogyakarta sekaligus pula memindahkan Ibukota. Meninggalkan Sutan Syahrir dan kelompok yang pro-negosiasi dengan Belanda di Jakarta.
Text Box: 1Pemindahan ke Yogyakarta dilakukan dengan menggunakan kereta api, yang disebut dengan singkatan KLB (Kereta Luar Biasa). Orang lantas berasumsi bahwa rangkaian kereta api yang digunakan adalah rangkaian yang terdiri dari gerbong-gerbong luar biasa. Padahal yang luar biasa adalah jadwal perjalanannya, yang diselenggarakan di luar jadwal yang ada, karena kereta dengan perjalanan luar biasa ini, mengangkut Presiden beserta Wakil Presiden, dengan keluarga dan staf, gerbong-gerbongnya dipilihkan yang istimewa, yang disediakan oleh Djawatan Kereta Api (DKA) untuk VVIP.
Karena Belanda mengetahui bahwa pemerintahan Republik Indonesia telah berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta kemudian Belanda Mengerahkan pasukannya untuk menggempur Ibukota Negara yakni Yogyakarta, namun ternyata dengan terus belajar dari pengalaman dan kesungguhan tekat di Yogyakarta sendiri sudah disiapkan sebuah serangan untuk menahan, dan memukul mundur pasukan Belanda, yang dikenal dengan “Serangan Umum 1 Maret 1949.
Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah serangan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap Kota Yogyakarta secara besar-besaran yang direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi Militer di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikut sertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Soedirman untuk membuktikan kepada Dunia Internasional bahwa TNI (berarti juga Republik Indonesia) masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan tujuan utama untuk dapat dengan mudah mematahkan tekat dari tujuan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada Dunia Internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan.  Soeharto pada waktu itu sebagai Komandan Brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.
Namun dibalik keberhasilan Serangan Umum 1 Maret 1949 tersebut, ada salah seorang tokoh yang mempunyai peran penting dalam jalanya Serangan tersebut, yakni Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yakni seorang negarawan sejati sekaligus Priyayi atau Raja Jawa yang menghabiskan hidupnya untuk Negara seperti yang dikutip dalam sebuah artikel.
. . . kemudian Presiden dan Wapres di Gedung Agung ditangkap dan diasingkan sehingga mutlaklah kala itu kedudukan "pemerintah" kita diserahkan pada Sjafruddin Prawiranegara di lain pihak kedudukan kiranya tinggal Menteri Koordinator Keamanan yang dijabat oleh Sri Sultan HB IX, merupakan pimpinan RI yang tetap di Yogyakarta, dimana Keraton berada maka praktis perjuangan kita hanya menggunakan jalan Diplomasi Politik kepada Dunia Internasional/PBB, dimana hal ini semenjak perpindahan pemerintah RI di Yogya tersebut Sri Sultan HB IX dengan telah terbentuknya Laskar Mataram tanggal 7 Oktober 1945 kiranya menjadi tumpuan utama perjuangan gerilya yang dikomandoi oleh satuan Wehrkreis.

Demikianlah sebagai seorang Negarawan yang matang dalam Kalkulasi dan Strategi perjuangan yang didukung dengan Kewenangan sebagai Menteri Koordinator Keamanan maka mulailah beliau menyusun rancangan dengan menggunakan beberapa faktor pendukung yang masih ada serta kelemahan dan Point of Return selain itu ternyata pengaruh Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Raja Jawa juga mempengaruhi jalannya serangan yakni dengan ikutnya pasukan Keraton di dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 tersebut,
Laskar Mataram yang terbentuk tanggal 7 Oktober 1945, menjadi tumpuan utama perjuangan gerilya yang dikomandoi oleh satuan Wehrkreis. Agak mengherankan, karena banyak penulisan buku sejarah perjuangan, tidak pernah disinggung peranan Laskar Mataram tersebut. Memang ketika Belanda melancarkan Agresi Militernya tanggal 19 Desember 1948, Re-Ra (Reorgani-Rasionalisasi) di tubuh TNI belum tuntas, sehingga masih banyak laskar dan satuan bersenjata, yang belum dilebur atau diintegrasikan ke Tentara Republik Indonesia (TNI).
(Artikel:http://id.wikipedia.org/wiki/Serangan_Umum_1_Maret_1949)

Selain itu juga peranan Sri Sultan Hamengku Buwono IX di bidang politik tidak bisa pandang sebelah mata saja karena pada dasarnya kebesaran hati Sri Sultan Hamengku Buwono IX membuktikan bahwa beliau bukan hanya seorang bangsawan, melainkan juga negarawan yang berpikir maju. Kerelaannya untuk memberikan sebagian wilayahnya sebagai pusat pemerintahan Republik Indonesia, sebuah kekuasaaan yang lebih tinggi dari kekuasaan kesultanan, merupakan wujud janji Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk ikut mempertahankan kemerdekaan.
Wawasan kebangsaan Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga terlihat dari sikap tegasnya yang mendukung Republik Indonesia dengan sangat konsekuen. Segera setelah Proklamasi Republik Indonesia beliau mengirimkan amanat kepada Presiden Republik Indonesia yang menyatakan keinginan kerajaan Yogyakarta untuk mendukung pemerintahan Republik Indonesia. Ketika Jakarta sebagai Ibukota Republik Indonesia mengalami situasi gawat, Sri Sultan Hamengku Buwono IX tidak keberatan Ibukota Republik Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta.
Begitu juga ketika Ibukota Republik Indonesia diduduki musuh, Sri Sultan Hamengku Buwono IX bukan saja tidak mau menerima bujukan Belanda untuk berpihak pada mereka, namun juga mengambil inisiatif yang sebenarnya dapat membahayakan dirinya, termasuk mengijinkan para gerilyawan bersembunyi di kompleks keraton pada Serangan Umum 1 Maret 1949. Hal ini didasari karena beliau adalah seorang raja yang Republiken. Setelah bergabung dengan RI, Sri Sultan Hamengku Buwono IX terjun dalam Dunia Politik Nasional. Dan perannya politiknya tersebut  juga menjadi sebuah pendobrak nilai-nilai ketertutupan Keraton yang pada saat perpindahan Ibukota pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta. Seperti yang dikutip oleh John Monfris (2012:300) menerangkan bahwa:
  The Indonesian revolusion was hamengkubuono’s finer hour, so much so that the rest of his career, despite its distinction, looks almost like an anticlimakx. His scentral convictiom, that the time of colonialism was over, seemed to guide all his actions during 1949, and he was prepared to take great personal and political risks to justify it. He was playing for high stakes, because the dutch had axiled some of his ancestors and seriously considerd doing the same to him. His judgement that, when it came to the point, they would not dare to do so, proved correct, but it may have been a narrow escape…

   Keputusan Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyediakan Yogyakarta untuk menampung pemerintah Republik Indonesia merupakan kebijakan luar bisa sekaligus menjadi sebuah legenda. Ketika republik sedang terusir dari Jakarta, disitu Sultan hadir. Sedangkan tekatnya menutup pintu Keraton telah berhasil menggagalkan tujuan utama Agresi Militer Belanda II, menghapus republik dari PETA. Oleh karena itu, menjadi sangat bermakna sekaligus mengandung arti banyak hal, bahwa Sultan Yogya mewakili Pemerintah republik menerima pengakuan kedaulatan atas seluruh bekas wilayah Hindia Belanda, wakil agung mahkota, tanggal 27 desember 1949 di Jakarta.

Sosok Sri Sultan Hamengku Buwono IX di bidang militer tidak bisa dilepaskan sebagai dari pada ide gagasannya tentang Pengambil Keputusan Serangan Umum 1 Maret 1949. Yang pada awalnya beliau telah menyaksikan semangat rakyat telah menurun dan banyak Pegawai Negeri Sipil yang ingin bekerja sama dengan pihak Belanda dan di tambah lagi  Sri Sultan Hamengku Buwono IX mendengar di radio luar negeri yang pada akhir Februari 1949 masalah antara Indonesia Belanda akan dibicarakan di forum PBB.
Dan kemudianlah terlintas sebuah inisiatif untuk mengadakan Serangan Umum sehingga dapat memberi tanda bahwa sebenarnya Pemerintah Indonesia Belum menyerah di dalam mempertahankan Kemerdekaannya. Karena Sri Sultan Hamengku Buwono IX tak punya pasukan yang cukup untuk melakukan serangan ini, kemudian Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengirimkan surat kepada Jenderal Soedirman melalui kurirnya untuk meminta persetujuan bahwa akan diadakannya Serangan Umum.
Setelah mendapat persetujuan dari Jenderal Soedirman dan menyarankan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk menghubungi Letkol Soeharto Di Yogyakarta Selatan. Setelah Sri Sultan Hamengku Buwono IX memberikan surat kepada Letkol Soeharto melalui Lettu Marsoedi, Staf Letkol Soeharto. Pada tanggal 14 Februari 1949, dengan sebuah kawalan Tentara yang di pimpin Lettu Marsoedi, Letkol Soeharto Masuk kedalam Prabuningratan dengan menyamar sebagai Abdi Dalem Kraton.
Dalam pertemuan empat mata inilah ide gagasan Serangan Umum 1 Maret 1949 diputuskan. Dan secara teknis Serangan Umum 1 Maret 1949 ini di pimpin langsung oleh Jenderal Soedirman yang notabenenya sebagai Panglima Besar TNI dan Soeharto pada waktu itu sebagai Komandan Brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta tetapi tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang pada dasarnya beliau adalah seorang Raja Yogyakarta. Selain serangan ini melibatkan jajaran tertinggi  Militer di wilayah Divisi III/GM III, namun banyak melibatkan pula  dari prajurit Laskar Mataram baik dari prajurit-prajurit Keraton, Tentara Pelajar dan rakyat pejuang lainnya yang dikerahkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX .
Dan dari Serangan Umum 1 Maret 1949 inilah telah membuktikan eksistensi baik TNI ataupun seluruh rakyat Indonesia di dalam usaha mempertahankan Kemerdekaan Indonesia belum habis riwayatnya. Menurut Julius Pour (1999:72) menerangkan bahwa:
Pengambil inisiatif Serangan Umum 1 Maret 1949 itu adalah Sri Sultan Hamengkubono IX sebagai kapasitasnya sebagai Menteri Negara yang pada waktu itu tinggal di dalam kota dan sebagai pemimpin informal (raja) dari rakyat Mataram yang dipercaya dan ditaati oleh seluruh rakyat Yogyakarta. Pada akhir Januari 1949, Sultan melihat semangat rakyat lemah sekali terdengar beberapa Pegawai Negeri mau bekerja sama dengan Belanda. Sementara itu, Sultan mendengar berita radio bahwa Dewan Keamanan PBB akan mengadakan sidang dan juga akan membicarakan Indonesia.

Berangkat dari hal tersebut diatas maka permasalahan ini menarik  untuk diteliti dan dikembangkan lebih lanjut dalam suatu penelitian, karena dapat digunakan sebagai tambahan wawasan dalam pembelajaran Sejarah Nasional Indonesia II dan Sejarah Perjuangan Bangsa, serta memberikan nilai-nilai edukatif bagi pembaca pada umumnya.
B.   Rumusan Masalah
Masalah adalah kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang di inginkan. Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan di atas, maka yang menjadi fokus masalah adalah di dalam menghadapi Serangan Umum 1 Maret 1949 terdapat tokoh yang handal yakni Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Berdasarkan masalah tersebut, maka dapat di rumuskan sebagai berikut :
                       Dari masalah tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.          Bagaimana Peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX di Bidang Politik Dalam Serangan Umum 1 Maret 1949.
2.          Bagaimana Peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX di Bidang Militer Dalam Serangan Umum 1 Maret 1949.
              Dari rumusan masalah di atas maka dapat diangkat judul dalam penelitian ini adalah : PERAN SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO IX DI BIDANG POLITIK DAN MILITER DALAM SERANGAN UMUM 1 MARET 1949.
C.    Tujuan Kajian                               
Tujuan kajian merupakan sasaran pokok yang akan dicapai oleh seorang peneliti, dengan menetapkan tujuan maka akan memberikan arah dan pedoman bagi seorang peneliti tersebut terhadap kegiatan yang akan dilakukan. Berdasarkan rumusan masalah yang terlah dikemukakan di atas maka yang menjadi tujuan dari kajian ini adalah sebagai berikut ;
1.   Untuk menganalisis  Peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX di Bidang Politik Dalam Serangan Umum 1 Maret 1949.
2.   Untuk menganalisis  Peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX di Bidang Militer Dalam Serangan Umum 1 Maret 1949






D.      Kegunaan Kajian
Adapun kegunaan yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1.      Dengan menganalisis  peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX kita dapat mengetahui peranan Sri Sultan Hamengku Buwono IX di Bidang Politik Dalam Serangan Umum 1 Maret 1949.
2.      Dengan menganalisis  Peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX kita dapat mengetahui peranan Sri Sultan Hamengku Buwono IX di Bidang Militer Dalam Serangan Umum 1 Maret 1949.
3.      Kajian ini diharapkan dapat digunakan sebagai tambahan wawasan Sejarah Pengetahuan Ilmu Sosial pada umumnya dan Ilmu Sejarah pada khususnya tentang peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX di bidang Politik dan Militer terhadap upaya melawan kolonialisme Belanda di Pulau Jawa pada tahun 1949. Sehingganya dapat menjadi salah satu dari sumber yang dapat dijadikan referensi perjuangan bangsa sebelum kemerdekaan.




E.       Metode Kajian
Dalam memecahkan suatu masalah diperlukan beberapa cara atau metode. Metode dalam arti yang sebenarnya berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu “Methodos”, yang artinya cara atau jalan. Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode historis dengan mengadakan studi kepustakaan.
Menurut Nugroho Notosusanto (1978:19) menyatakan bahwa metode sejarah adalah sarana sejarawan untuk melaksanakan penelitian dan penulisan sejarah. Sedangkan Louis Gottachalk, metode historis adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lalu dan menurut Moh. Ali (1982:21) bahwa metode historis dilakukan dengan meninjau suatu perspektif sejarah, berdasarkan kepada peninggalan atau dokumen sejarah yang ada.

1.      Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang objektif dan benar maka peneliti menggunakan cara di dalam penelitian ini dengan mengadakan studi kepustakaan. Kemudian dengan cara ini, peneliti dapat menemukan sumber data yang diperlukan guna mendapatkan data yang akurat dan objektif. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :
a.      Heuristik
Heuristik merupakan kegiatan penelitian untuk mencari atau menemukan sumber data yang diperlukan. Dalam penelitian yang dilakukan ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Nugroho Notosusanto (1978:11) menyatakan bahwa “Heuristik adalah proses mencari untuk menemukan sumber-sumber dari masa lampau”.
Dari konsep diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa heuristik adalah langkah awal untuk menemukan sumber-sumber penelitian.
Langkah dalam menemukan sumber data tersebut adalah :
1)      Mencari buku yang relevan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini.
2)      Membahas secara cermat dalam penelitian atau buku dan merumuskan konsep-konsep yang sesuai dengan jenis masalahnya.
3)      Membaca buku artikel atau dokumen lain yang berkaitan dengan penelitian yang dibahas.

b.      Studi Kepustakaan
Mengenai studi kepustakaan Koentjaraningrat (1983:83) menyatakan sebagai berikut :
Teknik kepustakaan merupakan cara pengumpulan data dan informasi dengan bantuan macam-macam materi yang terdapat di dalam ruang perpustakaan, misal koran, majalah-majalah, dokumen dan sebagainya yang relevan dengan penelitian.
Dengan teknik kepustakaan, peneliti berusaha mempelajari dan menelaah buku-buku untuk memperoleh data dan informasi berupa teori-teori atau argumen yang dikemukakan oleh para ahli yang berkaitan dengan masalah-masalah yang diteliti.
Langkah-langkah melakukan studi kepustakaan adalah sebagai berikut :
1)      Membaca buku-buku yang relevan dengan sumber data.
2)      Mengklasifikasikan fakta-fakta sejarah dengan konsep sesuai dengan teknik penelitian.
3)      Mengembangkan ide dan gagasan sendiri berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh.



2.      Keabsahan Pengumpulan Data
Suatu penelitian agar dapat mencapai hasil yang optimal maka harus didukung oleh data yang tepat. Oleh karena itu untuk menguji kebenaran suatu data maka akan dilakukan dengan mengkritik sumber data. Di dalam penelitian ini kritik yang digunakan adalah kritik Ekstern dan kritik Intern. Kedua kritik tersebut adalah sebagai berikut :
a.      Kritik Ekstern
Kritik ekstern adalah kritik yang menyangkut sumber penelitian. Apakah sumber itu asli atau tidak seperti yang diungkapkan oleh Nogroho Notosusanto (1984:38) sebagai berikut:
Aspek ekstern bersangkutan dengan persoalan apakah sumber itu merupakan sumber, artinya apakah sumber data sejati yang kita perlukan. Kritik ekstern bertugas untuk menjawab tiga persoalan pokok yaitu :
(1)   Apakah sumber itu memang kita kehendaki ?
(2)   Apakah sumber itu asli atau tidak ?
(3)   Apakah sumber itu utuh atau telah diubah ?

Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan kritik ekstern adalah suatu kegiatan penelitian yang bertujuan untuk memastikan kebenaran sumber data yang digunakan.
Adapun langkah-langkah kritik ekstern adalah sebagai berikut:
1)      Mengecek kecocokan antara judul penelitian dengan judul sumber data.
2)      Mengecek kesamaan secara kronologi antara judul penelitian dengan peristiwa yang ditulis dalam sumber data.
Untuk mengetahui validitas sumber data dikemukakan dalam tabel kritik ekstern sebagai berikut :




b.      Kritik Intern
Keabsahan sumber data ditingkat validitasnya tidak hanya menggunakan kritik ekstern, akan tetapi harus dilanjutkan dengan kritik intern sebagai langkah mengetahui kebenaran isi sumber data yang digunakan.
Winarno Surachmad (1990:135) mengemukakan : “Kritik intern adalah suatu penelitian yang dilakukan dengan cara menentukan kebenaran isi sumber data”. Berdasarkan pernyataan tersebut maka dapat diambil pengertian bahwa yang dimaksud dengan kritik intern adalah mengevaluasi kebenaran fakta daan konsep sejarah yang ditulis dalam sumber. Dalam kegiatan penelitian ini langkah-langkah kritik intern dilakukan sebagai berikut :
1)      Mengecek kecocokan antara konsep dan fakta dalam sumber data dengan peristiwa yang diteliti.
2)      Menyesuaikan dengan kronologi peristiwa yang ditulis dalam buku sumber dengan yang ditetapkan dalam penelitian.
3)      Memahami tujuan penulisan sumber data.


3.         Teknik Analisa Data
                        Setelah data terkumpul selanjutnya data-data tersebut dianalisis kebenarannya untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Adapun metode analisis data adalah sebagai berikut :
a.     Interpretasi
                        Interpretasi merupakan usaha menentukan atau menetapkan makna dan fakta-fakta yang diperoleh. Hal ini dikemukakan oleh Nugroho Notosusanto (1984:38) bahwa “ Interpretasi merupakan langkah penetapan makna yang saling berhubungan dengan fakta-fakta yang diperoleh”
            Dari pendapat diatas maka dapat diambil pengertian bahwa yang dimaksud dengan interpretasi adalah tahap penafsiran yang didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh.
            Langkah-langkah dari interpretasi data dapat diungkapkan sebagai berikut:
1)      Memberi penafsiran kepada sumber yang diperoleh
2)      Memberi gambaran terhadap fakta-fakta yang diperoleh dari sumber sejarah
3)      Menafsirkan temuan ke dalam kalimat bermakna.




b.      Historiografi
          Historiografi adalah kegiatan akhir dari penelitian dalam penulisan sejarah. Menurut Nugroho Notosusanto (1984:36) adalah “Historiografi merupakan merekonstruksi yang imajinatif dari peristiwa masa lampau berdasarkan data yang diperoleh.
          Dari uraian diatas dapat dimabil pengertian bahwa historiografi adalah penulisan data-data atau fakta-fakta menjadi sebuah kisah sejarah berdasarkan data-data yang telah diperoleh dari masa lampau. Terkait dengan hal diatas Nugroho Notosusanto (1984:98) menyatakan :
            Metode Historiografi adalah metode yang merupakan sekumpulan prinsip atau aturan yang sistematis yang dimaksud untuk memberikan bantuan secara efektif dalam usaha mengumpulkan bahan-bahan bagi sejarah secara kritis dan kemudian menyajikan sesuai sintes dari pada hasil, biasanya dalam bentuk tertulis.


          Berdasarkan pendapat diatas dapat dijelaskan bahwa metode sejarah merupakan suatu metode yang digunakan untuk membantu dalam usaha pengumpulan bahan-bahan yang ada kaitannya dengan apa yang diteliti, sehingga peneliti dapat memberi suatu sintesa dalam bentuk tulisan. Langkah-langkah historiografi meliputi :
1)      Mencari sumber data dari berbagai literatur yang relevan dan berhubungan dengan topik penelitian.
2)      Mengadakan kritik terhadap data.
3)      Memberikan penafsiran atau interpretasi
4)      Melakukan penulisan sejarah.

F.     Batasan Konsep dan Istilah
1.      Batasan Konsep
                               Batasan konsep dalam penelitian ini diperlukan untuk memperoleh gambaran secara tepat dalam penelitian. Hal ini sesuai dengan penjelasan Dudung Abdurrahman (dalam Basri MS,  2006 : 22) yaitu “Konsep dapat diartikan sebagai suatu abstraksi mengenai suatu gejala atau realitas”. Dalam penelitian ini batasan konsep dapat dibagi ke dalam beberapa bagian, yaitu sebagai berikut :.
a.      Konsep Peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX Di Bidang Politik
 Sri Sultan Hamengku Buwono IX mempunyai peran besar tentunya di dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kebesaran hati Sultan membuktikan bahwa ia bukanlah seorang bangsawan saja, melainkan juga negarawan yang berpikir maju. Kerelaan untuk memberikan sebagian wilayahnya sebagai pusat pemerintahan Republik Indonesia adalah kekuasaan tertinggi dari kekuasaan kesultanan, merupakan wujud janji Sultan untuk ikut mempertahankan kemerdekaan. Sebagai halnya di kutip dari Mohamad Roem (2011:73) menerangkan bahwa:
Salah satu peranan Sri Sultan Hamengku Buwono IX ialah dalam Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Beliau merupakan penggagas dari ide pemikiran jalannya peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam kapasitasnya sebagai Menteri Negara yang pada waktu itu tetap tinggal di dalam kota dan sebagai pemimpin informal (Raja) dari rakyat Mataram yang di percaya dan ditaati oleh seluruh rakyat Yogyakarta. Dan secara teknis Serangan Umum 1 Maret di serahkan kepada Letkol Soeharto namun tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Dari kutipan di atas dapat diambil pengertian bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono IX merupakan merupakan penggagas dari pada Serangan Umum 1 Maret 1949. Dan merupakan seorang Raja dari rakyat Mataram dan kapasitasnya menjabat sebagai Menteri Negara yang mementingkan kepentingan negaranya. Menurut Hariadi Saptono (2002:73) menerangkan bahwa :
Dari dalam keraton mulailah Hamengku Buwono IX sekarang menjalankan siasatnya. Pertama-tama ia sengaja menyebarkan berita bahwa dia ”meletakan jabatan” sebagai Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta kemudian diikuti oleh Sri Paku Alam. Cara untuk menyebarluaskan berita itu adalah dengan penyampaian dari mulut ke mulut, atau waktu itu lazim disebut sebagai Fluistercampagne, sehingga seluruh rakyat sampai kepelosok Kabupaten mendengarnya. Tujuan penyebaran berita ini, dalam keadaan Hamengku Buwono IX dibatasi ruang geraknya adalah agar soal keamanan daerah Yogya menjadi tanggung jawab tentara pendudukan. Lagi pula dengan demikian, Hamengku Buwono IX atau Paku Alam tak akan dapat diperalat atau disuruh melakukan tindakan-tindakan yang membantu musuh.
Dari kutipan di atas dapat diambil pengertian bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono IX tidak mau bekerja sama dengan pihak Belanda dan menghalangi siasat pihak Belanda untuk merebut kekuasaan di Yogyakarta. Menurut Mohamad Roem (2011:73) menerangkan bahwa: Belanda sungguh bingung dengan politik nonkooperatif Sultan. Mereka ingin pegawai-pegawai sipil mendukungnya ketika kekuasaan militer kita goyah. namun Sultan malah membujuk pegawai sipil untuk tidak berpihak kepada mereka.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX merupakan contoh bangsawan yang demokratis. Pemerintahan Kesultanan Yogyakarta mengalami banyak perubahan di bawah pimpinannya. Bila dalam masa kejayaan Mataram pernah berhasil mengembangkan konsep Politik Keagungbinataraan yaitu bahwa kekuasaan raja adalah agung binathara bahu dhenda nyakrawati, berbudi bawa leksana ambeg adil para marta yakni besar laksana kekuasaan dewa, pemeliharaan hukum dan penguasa dunia, meluap budi luhur mulianya, dan bersikap adil terhadap sesama, maka Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan wawasan barunya menunjukkan bahwa raja bukan lagi gung binathara, melainkan demokratis. Raja berprinsip kedaulatan rakyat tetapi tetap berbudi bawa leksana.
b.      Konsep Peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX Di Bidang Militer
Sri Sultan Hamengku Buwono IX Kontribusinya terhadap RI jelas tak dinafikan lagi. Peranannya di dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 jelas terlihat sekali di dalam ide gagasanya. Sebagai halnya di kutip dari Hariadi Saptono  (2012:80) menerangkan bahwa :
Pihak Belanda yang seharusnya meninggalkan wilayah RI malah membandel bercokol, dan mengklaim tindakan militernya sebagai aksi “Polisionil: (penertiban) atas kekacauan yang ditimbulkan oleh para extremis (pejuang Indonesia). Belanda menciptakan kesan tidak ada pemerintahan Indonesia. Karena itu Sultan merencanakan gerakan militernya untuk menunjukan bahwa TNI masih ada, dan bisa diketahui oleh negara-negara anggota Komisi Tiga negara (KTN) yang sudah ada di Yogyakarta. Dari sana,  Sultan mengirimkan surat meminta pertimbangan Panglima Besar Jenderal Soedirman agar diadakan suatu serangan umum dan Panglima Soedirman menyetujuinya.

Dari kutipan di atas dapat diambil pengertian bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono IX telah melakukan gerakan militer. Beliau  bekerja sama dengan Panglima Besar Jendral Soedirman yang notabennya sebagai Panglima Besar TNI dan Sri Sultan Hamengku Buwono  IX sebagai Raja Yogyakarta. Untuk melakukan serangan dengan tujuan untuk menujukkan bahwa pemerintahan Indonesia beserta TNI masih ada dengan melakukan Serangan Umum 1 Maret 1949. Dan Sebagai halnya dikutip dari Sindhunatta (1982:147) menerangkan bahwa :
Setelah serangan umum, berkali-kali Belanda mendatangi Sultan di Keraton. Termasuk Jenderal Meyer, Panglima Tentara Belanda di Indonesia ikut datang untuk memeriksa Keraton dan meminta Sultan menghentikan bantuannya pada pasukan Pejuang gerilya dan TNI Karena pejuang gerilya dan TNI dalam peperangan banyak bersembunyi di dalam benteng Keraton. Namun mereka gagal menakut-nakuti Sultan. Keahlian diplomasi pria Jawa lulusan Universitas Leiden ini mengalahkan para Jenderal Belanda.

Dari kutipan di atas dapat diambil pengertian bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono IX terlihat telah memberikan suatu dukungan baik dari segi material ataupun moral di dalam jalannya serangan umum tersebut dan memberikan jaminan keamanan bagi para pejuang yang selalu memberikan persembunyian di dalam benteng tembok Keraton . Sebagai halnya di kutip dari Mohamad Roem (2011:80) menerangkan bahwa:
Pada hari itu, bebarengan dengan bunyi sirine tanda habisnya jam malam yang telah ditetapkan oleh Belanda ketika itu, secara serentak dari segala penjuru kota Yogya terdengar rentetan tembakan senjata dipimpin langsung Oleh seorang Letnan Kolonel. Kemudian, pada saat yang telah ditetapkan, secara serentak para gerilyawan yang terdiri atas tentara TNI, tentara pelajar, dan rakyat pejuang memasuki dan menduduki kota. Setelah enam jam berada di kota dan kelompok gerilyawan telah menduduki tempat masing-masing maka secara teknis serangan ini disebut dengan “Enam Jam di Yogya”.

Dari kutipan di atas dapat diambil pengertian bahwa konsep peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam bidang militer yang tidak bisa dilepaskan pula oleh kerjasama Panglima Besar Jenderal Soedirman beserta jajaran TNI yang di bawahinya dan pejuang lainnya tentunya cukup memberikan kontribusi bagi Republik Indonesia pada saat itu yang cukup membuktikan kepada dunia internasional bahwa Republik Indonesia dan TNI masih ada di dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.

c.       Konsep Serangan Umum 1 Maret 1949
Serangan Umum 1 Maret  adalah serangan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta atas ide gagasan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang direncanakan dan dipersiapkan secara besar-besaran oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Soedirman, untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan tujuan utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai Komandan Brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta. Sebagai halnya telah dikutip dari situs bahwa:
Serangan Umum 1 Maret 1949 ialah serangan yg dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta secara besar-besaran yg direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Soedirman, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yg sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan maksud utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Serangan_Umum_1_Maret_1949)

Dari kutipan di atas dapat diambil pengertian bahwa Tujuan Belanda menyelenggarakan serangan ialah Belanda ingin menunjukkan kepada Dunia bahwa Pemerintah Republik Indonesia dan TNI secara de facto tidak ada lagi. Serangan Umum 1 Maret  adalah serangan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta atas ide gagasan dari Sri Sultan Hameku Buwono IX berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Soedirman. Sebagai halnya telah dikutip dari Batara R. Hutagalung (2010:453) sebagai berikut ;
TNI berhasil membuktikan bahwa Serangan Umum 1 maret ini dapat memberikan dampak yang positif bagi Republik Indonesia, dengan sebutan serangan siluman bagi mereka yang dilaksanakan di pagi hari ketika bebarengan dengan bunyi sirine tanda habisnya jam malam yang telah ditetapkan oleh Belanda ketika itu. Maka secara teknis serangan ini disebut dengan “Enam Jam di Yogya”.

Dari kutipan di atas dapat diambil pengertian bahwa Tentara Republik Indonesia (TNI) beserta para pejuang RI dapat memberikan dampak yang positif atas kontribusinya di dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 tersebut, dan dapat membuktikan kepada dunia internasional dengan serangan siluman ini dapat menguasai kota Yogyakarta dalam waktu enam jam dimulai ketika bebarengan bunyi sirine tanda habisanya jam malam, Maka secara teknis serangan ini disebut dengan “Enam Jam di Yogya”.
2.      Batasan Istilah
Dari batasan konsep dan landasan teori di atas, maka akan dijelaskan beberapa istilah yang berkaitan dengan pelaksanaan penelitian ini yaitu :
a.       Peranan merupakan tindakan yang di lakukan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu peristiwa yang telah terjadi. Dalam hal ini bila orang tersebut telah menjalankan hak dan kewajibannya maka ia telah menjalankan suatu peran.
b.      Politik adalah usaha dalam mewujudkan tujuan bersama suatu masyarakat/bangsa/negara yang memiliki kesamaan cita-cita.
c.       Militer dapat diartikan sebagai angkatan bersenjata dari suatu negara, atau segala sesuatu yang berhubungan angkatan bersenjata.

3 komentar: